oleh Ahmad Kusyairi Suhail
"..Dan pergaulilah istri-istri dengan baik (patut). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS An Nisaa' [4]: 19).
Dalam sebuah forum konsultasi keluarga, seorang istri mengadukan perlakuan suaminya kepada Ketua Majlis Ulama Besar Arab Saudi, waktu itu masih dijabat oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah.
"Suami saya, meskipun ia seorang berakhlak mulia dan takut kepada Allah, namun ia tidak pernah memberi perhatian sama sekali di rumah. Dia selalu murung dan cemberut terus padahal Allah Maha Mengetahui bahwa saya sudah menunaikan semua kewajiban sebagai istri dan memberinya ketenangan. Tapi, saya tetap sabar dengan perlakuannya. Setiap kali saya tanya sesuatu, dia langsung marah dan emosi, lalu berkomentar, bahwa itu ucapan sepele dan tidak berguna.
Dia selalu bahagia dan ceria jika berkumpul dengan teman-temannya. Sementara saya tidak mendapatkan darinya kecuali cacian dan perlakuan kasar. Sungguh dia sering menyakiti dan menganiaya saya sehingga saya berkali-kali ingin kabur dari rumah ..” (Fataawa Al Mar'ah, Muhammad Al Musnid, h. 115, cet. I, Riyadh, 1414 H).
Perlakuan kasar dan kejam terhadap istri tidak terjadi pada masa Jahiliyah saja, melainkan juga terjadi di zaman modern seperti contoh di atas. Rumah dengan situasi dan kondisi semacam itu bak neraka. Di Indonesia sendiri, jumlah kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) terbilang tidak sedikit.
Perlakuan yang baik terhadap pasangan
Ayat di atas mempersembahkan satu kiat agar rumah kita tidak seperti neraka, yaitu memperlakukan pasangan dengan baik. Allah swt berfirman, ".. Dan pergaulilah istri-istri dengan baik (patut).” Menurut Ibnu Katsir, maksud ayat tersebut adalah "Perbaguslah ucapanmu (wahai para suami) terhadap mereka. Perbaikilah perbuatanmu dan perindahlah tampilanmu sesuai kemampuanmu sebagaimana engkau menginginkan hal itu dari istrimu. Maka, lakukanlah terhadap istrimu seperti yang ingin ia lakukan terhadapmu (Tafsir Ibnu Katsir, II/22). Sebagaimana firman Allah, "..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf (benar dan patut)” (QS Al Baqarah [2]: 28).
Dengan demikian perlakuan ma'ruf dalam ayat di atas maknanya sangat integral dan universal. Termasuk di dalamnya berusaha untuk berpenampilan baik dan menarik. Nabi saw memberi kiat agar suami menjadi dambaan bagi istrinya, "Cucilah wahai para lelaki pakaianmu, pakailah minyak rambut, bersikat gigilah, mandilah dan bersucilah; karena kaum Bani Israel tidak melakukan hal itu kepada istri-istri mereka” (HR Thabrani).
Dalam perspektif Nabi saw, manusia terbaik di dunia bukanlah manusia yang paling kaya atau paling tinggi jabatannya atau paling tinggi gelarnya atau paling keren tampilannya atau variabel-variabel dunia lainnya. Melainkan, manusia yang paling baik dalam memperlakukan pasangannya, memberikan banyak perhatian terhadap keluarganya. Beliau saw bersabda, "Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya” (HR Tirmidzi, no. 3830 dan Ibnu Majah, no. 1967. Menurut Tirmidzi, hadits tersebut hasan gharib shahih).
Karenanya, Rasulullah adalah orang yang selalu baik dalam bergaul, selalu ceria, mesra dengan istrinya, lemah lembut terhadap mereka, memberi mereka nafkah yang cukup untuk kebutuhan mereka (lihat QS Ath Thalaq [65]: 7), bersenda gurau dan bercanda dengan istrinya. Misalnya, beliau saw pernah berlomba lari dengan istrinya, Aisyah ra. Faktor ini tidak bisa dipungkiri–selain pertolongan Allah–juga memiliki andil besar dalam mengantarkan keberhasilan Rasulullah saw dalam berdakwah dan membangun peradaban manusia serta mengeluarkan mereka dari beragam kezhaliman dan kegelapan di semua aspek kehidupan. Perlakuan yang baik terhadap keluarga membuat keluarga menjadi kreatif, energik dan produktif. Maka, meneladani Nabi saw dalam menjaga keharmonisan rumah tangga merupakan keniscayaan, karena ini perintah Allah, sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS Al Ahzaab [33]: 21).
Ujian cinta
Termasuk memperlakukan pasangan dengan ma'ruf (baik dan patut) adalah setia dan tidak mengkhianatinya dalam suka dan duka. Tidak sedikit rumah tangga yang lulus ujian ketika diuji oleh Allah swt dengan kemiskinan dan kesempitan. Sehingga saat itu janji seiya sekata dan sehidup semati telah menjadi komitmen berdua.
Namun, ketika Allah menguji dengan kekayaan dan kemudahan, tidak sedikit yang berguguran dan tidak lulus ujian illa man rahimallah (kecuali orang yang dirahmati oleh Allah). Ketika harta melimpah, rumah luas, mobil mewah, jabatan bergengsi dan sejenisnya terkadang mudah membuat sebagian suami atau istri lalai sehingga menggerus sedikit demi sedikit cinta terhadap pasangannya. Bahkan, ada juga yang secara cepat mematikan api cinta sehingga melupakan pasangannya. WIL (Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria Idaman Lain) menjadi pelariannya dan puncaknya kehancuran biduk rumah tangga, yaitu cerai. Maka, cinta tulus itu pun telah dibalas dengan durhaka yang memicu prahara rumah tangga. Tentu, semua itu bisa terjadi ketika rumah tangga jauh dari iman dan lupa terhadap tujuan rumah tangga yang hakiki, membangun ‘istana' takwa sebagaimana firman Allah swt, "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah..” (QS An Nisaa' [4]: 1). Begitu pentingnya rumah tangga, sampai-sampai dalam ayat ini, diapit oleh dua kali perintah takwa.
Menerima kelebihan dan kekurangan pasangan
Bagian akhir ayat di atas, "Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa termasuk perlakuan yang baik adalah menghargai kelebihan pasangan dan memaklumi kekurangannya. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah swt semata.
Maka, mengharapkan kesempurnaan istri atau suami kita adalah sama saja mengharapkan kemustahilan. Karenanya, seorang yang beriman dituntut untuk mampu memenej (mengelola) kelebihan dan kekurangan pasangannya menjadi sebuah kekuatan yang dapat memancarkan cahaya sakinah, mawaddah wa rahmah dalam kehidupan rumah tangganya.
Karena itu Umar bin Khaththab ra, seperti dikutip oleh Sayyid Quthb, pernah marah besar kepada seorang suami yang ingin menceraikan istrinya lantaran sudah tidak mencintainya, dengan mengatakan, "Celaka kamu ini! Bukankah rumah tanggamu selama ini dibangun di atas ‘pondasi' cinta? Lalu, mana usaha kerasmu untuk memelihara cinta itu?” (Tafsir Fii Zhilal Al Qur'an, I/600).
Perlakuan yang ma'ruf, memahami dan menghargai kewajiban dan hak masing-masing, ta'awun dalam kebajikan dan takwa, komunikasi efektif dalam rumah tangga dan selalu mengiringi dengan doa adalah kunci-kunci kebahagiaan rumah tangga sehingga menjadikan rumah kita damai, tidak seperti neraka.
Jika cinta kasih sudah diberikan dan perlakuan ma'ruf (baik dan patut) sudah ditegakkan, namun dibalas pasangan dengan durhaka dan ketidakpatuhan, maka nerakalah balasan dan tempatnya kelak.
Ancaman ini disampaikan Rasulullah saw dalam haditsnya, "Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang berbuat kufur” Beliau lalu ditanya, "Apakah maksudnya mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, "(Maksudnya) kaum wanita itu mengkufuri suami (tidak mentaatinya dan durhaka kepadanya) dan mengkufuri kebaikan (perlakuan suami). Jika kamu telah berbuat baik kepada seorang di antara mereka sepanjang waktu, kemudian dia melihat sesuatu darimu, dia berkomentar, ‘Aku tidak melihat darimu ada kebaikan sedikitpun'” (HR Bukhari no. 28).
Semoga Allah swt tidak menjadikan rumah kita seperti neraka (panas, kering, tidak ada ketenangan dan cinta kasih) dan menjauhkan kita semua dari neraka akhirat.
Amin